Proses Taaruf yang Benar Sebelum Memutuskan Menikah

Istilah Taaruf sering terdengar di kalangan umat Islam. Banyak orang juga mengaku melakukan Taaruf sebelum mereka memasuki jenjang pernikahan.

Lalu bagaimana sebenarnya tata cara dan aturan melakukan Taaruf dalam hukum Islam?

Tidak jarang banyak orang yang salah mengartikan proses Taaruf. Mereka menganggap Taaruf hanya sebagai proses perkenalan oleh dua pria dan dua wanita tanpa perantara di antara mereka.

Orang sering menganggap Taaruf adalah proses pernikahan tanpa melalui pacaran. Bahkan, ada juga yang meyakini bahwa Taaruf adalah pacaran Islami. Ini tentu saja salah.

Taaruf dalam Islam merupakan pengenalan proses syar’i menuju ikatan suci pernikahan. Taaruf berasal dari kata ta’arafa – yata’arafu. Itu berarti mengenal satu sama lain sebelum menuju pernikahan.

Taaruf ini terjadi sebelum pertunangan. Khitbah adalah lamaran atau mengajukan diri untuk pernikahan.

Taaruf berbeda dengan pacaran. Pacaran dalam Islam adalah sesuatu yang diharamkan karena dapat mengakibatkan zina, baik itu zina mata karena saling memandang dalam waktu lama, atau zina tangan karena berpengangan dan lain sebagainya. Jadi Taaruf dilakukan agar seseorang terhindar dari perzinahan.

Allah melarang umatnya segala sesuatu yang berhubungan dengan zina, bahkan jika mereka mendekatinya dan tidak melakukan hal-hal yang dilarang.

Allah SWT berfirman dalam Surah Al-Isra ayat 32:

Wa laa taqrabuz-zinaa innahu kaana faahisyah, wa saa’a sabiilaa

Artinya:

“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.”

Agar tidak salah dalam tata cara berkenalan, ada baiknya seorang muslim mengetahui tata cara berkenalan yang benar menurut syariat Islam.

Berikut ini adalah tata cara melakukan Taaruf …

1. Niat.

Sebelum berkenalan, seseorang harus memiliki niat karena Allah. Tidak boleh berkenalan jika memiliki niat buruk.

Nabi Muhammad SAW mengatakan:

“Kalian tidak akan beriman sampai kalian menyukai sikap baik untuk saudaranya, sebagaimana dia ingin disikapi baik yang sama.” (HR. Bukhari & Muslim)

2. Dilarang menyendiri.

Sebelum menikah, pasangan yang tunduk pada kenalan dilarang sendirian. Karena jika hanya seorang pria dan seorang wanita saja, maka setan menjadi pihak ketiga, ingin menjerumuskan manusia ke dalam perbuatan maksiat.

Nabi bersabda dalam sebuah hadits:

“Jangan sampai kalian berdua-duaan dengan seorang wanita (yang bukan mahramnya), karena setan adalah orang ketiganya.” (HR. Ahmad dan dishahihkan Syu’aib al-Arnauth).

Seseorang yang ingin melakukan Taaruf harus melalui perantara, dan orang yang dipercaya dapat menjadi perantara untuk bertukar informasi tentang calon.

3. Pertukaran data penting.

Dalam proses Taaruf, untuk mengenal satu sama lain harus melalui pertukaran biodata tertulis, yang kemudian memiliki perantara pihak ketiga untuk pertukaran biodata tersebut. Hal ini dilakukan untuk mengurangi pertemuan.

Setiap orang dapat mengetahui profil calon pasangannya dari biodata, atau dari orang terdekat yang mengenal calon pasangannya secara pribadi.

4. Nadzar bertemu

Setelah permohonan taaruf diterima, selanjutnya tinggal datang ke rumah calon pasangan dan menemui orang tuanya. Hal ini sesuai dengan riwayat di bawah ini…

Dari al-Mughirah bin Syu’bah radhiyallahu’anhu menceritakan:

“Suatu ketika aku berada di sisi Nabi shallallahu’alaihi wasallam, tiba-tiba datanglah seorang lelaki. Dia ingin menikahi wanita Anshar. Lantas Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bertanya kepadanya, “Apakah engkau sudah melihatnya?” Jawabnya, “Belum.” Lalu Beliau memerintahkan, “Lihatlah wanita itu, agar cinta kalian lebih langgeng.” (HR. Tarmidzi 1087, Ibnu Majah 1865 dan dihasankan al-Albani)

Atas otoritas Al-Mughirah bin Shu’bah, semoga Allah meridhoinya:

“Suatu ketika saya bersama Nabi, semoga Tuhan memberkatinya dan memberinya kedamaian, seorang pria datang tiba-tiba. Dia ingin menikahi seorang wanita dari Ansar, jadi Rasulullah, semoga Tuhan memberkatinya dan memberinya kedamaian, bertanya kepadanya: Apakah kamu melihatnya?” (HR. Al-Tirmidzi 1087, Ibnu Majah 1865 dan Hassan Al-Albani).

5. Diperbolehkan memberikan hadiah kepada pengantin wanita.

Hadiah sebelum menikah hanya dapat dimiliki oleh wanita tersebut dan bukan menjadi milik keluarganya. Sebagaimana tertulis dalam riwayat hadits berikut ini: “Semua mahar, pemberian, dan janji sebelum akad nikah itu milik pengantin wanita. Lain halnya dengan pemberian setelah akad nikah, itu semua milik orang yang diberi.” (HR. Abu Daud 2129)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *